Kamis, 27 Juni 2013

suku alifuru



Suku alifuru

Menurut cerita yang beredar di  Maluku,  suku Alifuru sebagai manusia pertama yang menghuni pulau Seram dan wilayah lain di kepulauan Maluku. Asal mula  nama "alifuru" berasal  dari bahasa Arab yaitu "alef" dan "uru" berarti "orang". Selain nama "alifuru", ada beberapa sebutan lain, yaitu "alfur", "alfuros", "alfures", "alifuru" atau "horaforas", sedangkan orang Belanda mengatakan mereka adalah "alfuren". Nama "alifuru" pernah berganti dengan nama "nusa indah", tetapi nama ini tidak populer, sehingga nama "alifuru" lah yang tetap dipakai.
Suku alifuru memiliki 2 jenis diantaranya suku alifuru gunung dan suku alifuru pesisir. Kedua suku ini tidak terlalu berbeda, hanya karena sekian lama sudah terpisah, maka terjadi beberapa perbedaan tata cara dan kebiasaan hidup sedangkan adat dan budaya tidaklah terlalu berbeda.
1.      Suku Alifuru Gunung
 Suku Alifuru Gunung hidup dengan cara mengasingkan diri di pedalaman  pegunungan, dan jarang berinteraksi dengan suku-suku lain di pulau Seram. Suku Alifuru Gunung hidup di sekitar jalur pendakian menuju Gunung Binaiya. Mereka menjalankan dan mempertahankan adat istiadatnya dengan kuat . Sebagian besar masyarakat dari suku Alifuru Gunung ini masih menganut kepercayaan yang mengandung unsur animisme. Animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dikalangan manusia primitif.
Rumah adat suku Alifuru gunung seperti rumah panggung yang mempunyai khas tersendiri yang terbuat dari pohon sagu tanpa menggunakan paku. Sambungan kayu dan tiang rumah diikat dengan tali yang terbuat dari rotan. Sedangkan atap terbuat dari daun nipah atau daun sagu. pondasi bangunan rumah ini menggunakan bambu yang berukuran besar untuk menahan bangunan rumah.
Rumah adat suku alifuru memiliki ukuran 15 x 8 m dan tidak memiliki dinding pembatas ruangan yang hanya diberi tanda garis tiang untuk membedakan ruangan setiap keluarga. Suku alifuru ini tinggal bersama-sama dalam satu rumah sampai dengan 10 keluarga walaupun berbeda turunan. 
Rumah adat suku alifuru gunung

2.      Suku Alifuru Pesisir
Suku Alifuru Pesisir pada abad ke-7 dikenal oleh pedagang Cina pada  dan di era Dinasti Ming di abad ke-14 sampai 16 Masehi, menggambarkan daerah ini sebagai oasis di tengah lautan.
Rumah adat suku alifuru pesisir

Suku Alifuru Pesisir tinggal di rumah panggung tradisional. Bangunan rumah hampir sama dengan suku alifuru gunung yang seluruhnya dibuat dari pohon sagu dan tidak memakai paku. Setiap tiang rumah diikat dengan tali yang terbuat dari rotan. Atap rumah memakai dengan daun nipah atau daun sagu. Pondasi rumah dibuat dengan bambu yang berukuran besar yang tersusun rapi sehingga mampu menahan bangunan rumah.
 Pada dasarnya suku alifuru gunung dengan suku alifuru pesisir dalam menganut kepercayaan berbeda. Kepercayaan suku alifuru gunung sebagian besar menganut kepercayaan animisme, sedangkan kepercayaan Suku Alifuru Pesisir sebagian besar memeluk agama Kristen dan sebagian lainnya memeluk agama islam.
Masyarakat suku Alifuru Gunung dan suku alifuru pesisir belum mengenal sistem jual beli. Semua barang yang mereka butuhkan, didapat dari hasil tukar barang (barter) dari hasil panen yang mereka bawa untuk dibarter dengan bahan-bahan kebutuhan mereka, seperti garam, minyak tanah dan ikan asin.

Makanan Suku Alifuru
Makanan utama suku alifuru gunung dan pesisir adalah sagu.  Sagu merupakan tanaman utama bagi masyarakat suku Alifuru keduanya. Hampir di setiap rumah adat suku Alifuru terdapat tempat untuk mengolah sagu menjadi papeda. Papeda adalah makanan khas suku Alifuru, dan rasanya tawar.
makanan khas suku alifuru


Mata pencaharian suku alifuru
Dalam mata pencaharian suku Alifuru gunung dan pesisir hidup pada bidang pertanian. Mereka memiliki kebun dan ladang yang ditanami berbagai jenis tanaman, seperti tanaman kopi, cengkeh, kasbi dan terutama tanaman sagu yang menjadi tanaman pokok mereka.
Pada masa dahulu mereka pernah menanam padi. Tetapi ketika proses penanaman padi berlangsung banyak dari warga mereka yang meninggal. Sejak itu, mereka tak lagi pernah menanam padi karena menurut keyakinan mereka, bahwa padi membawa sial bagi kehidupan mereka. Sehingga hasil bumi yang ditanam pada saat ini adalah tanaman kopi, cengkeh, kasbi dan terutama tanaman sagu yang menjadi tanaman pokok suku alifuru.

Tradisi Penyambutan tamu suku alifuru
Dalam penyambutan tamu pada Suku Alifuru dengan melakukan upacara Waku-Waku. Tujuan dari upacara waku-waku adalah untuk menjaga keselamatan para tamu agar terhindar dari malapetaka. Terdapat kepercayaan apabila tamu yang datang ke dusun mereka tidak disambut secara adat, maka lalainya penyambutan dapat berimbas ke desa tersebut yaitu kesialan dapat terjadi di desa. Keluarganya pun akan terkena bencana.

Pola pemakaman suku alifuru
Pola pemakaman suku alifuru hampir mirip dengan pemakaman adat  yang berada Toraja, Sulawesi Selatan. Dimana jenazah tersebut diletakkan di atas tebing batu yang tinggi dan dibiarkan hingga menjadi tulangnya saja, mereka menganggap kematian adalah bukan akhir segalanya, melainkan arwah dari jenazah tersebut sedang mengalami perjalanan kedunia yang berbeda atau biasa disebut dengan Puya.
Suku Alifuru menempatkan jenazah tersebut di sebuah Liang, yakni batu yang dianggap kramat dan memiliki nilai magis sebagai pemakamannya. Bentuk batu yang dipilih pun tidak terlalu besar, asal terdapat celah atau gorong-gorong pada bagian bawahnya maka bisa dijadikan pemakaman. Penempatan di batu di karenakan mereka menganggap manusia pertama yang menginjakan kakinya di bumi itu berasal dari batu. Oleh karena itu jika meninggal mereka pun harus kembali ke batu.
Jenazah suku alifuru yang akan dimakamkan harus ditempatkan sebagaimana kebiasaan sehari-harinya. Jika jenazah tersebut semasa hidupnya suka tiduran maka dia akan ditidurkan pula pemakamannya. Jika dia suka duduk bersila, maka harus sama dengan pemakamannya. Hal ini tujuannya agar para arwah dari jenazah tersebut tidak marah dan tidak mengganggu para anggota keluarga lainnya yang masih hidup. Jenazah yang sudah dimakamkan akan ditinggal begitu saja sampai bau busuk menyengat hingga menjadi tulang-belulang. Bahkan jenazah tersebut menjadi santapan bagi binatang buas.
Proses adat kematian Suku alifuru gunung, jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, maka rumah yang mereka tempati  dan ladang harus ditinggalkan. Begitu juga dengan segala bentuk barang yang pernah dipakai oleh orang yang meninggal tersebut harus ditinggalkan. Mereka menganggap kalau tidak berpindah rumah, arwah dari jenazah tersebut akan membawa petaka bagi anggota keluarga yang lain. Kepercayaan ini berasal dari agama yang mereka anut adalah animisme. Animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dikalangan manusia primitif. 




Tulang jenazah yang berada dibawah batu besar (liang) dalam pemakaman suku alifuru
Sumber:


Deden Syahruddin
21412786
1IC05