suku alifuru
Suku alifuru
Menurut cerita
yang beredar di Maluku, suku Alifuru sebagai manusia pertama yang menghuni
pulau Seram dan wilayah lain
di kepulauan Maluku. Asal mula nama
"alifuru" berasal dari bahasa Arab yaitu "alef" dan "uru" berarti
"orang". Selain nama "alifuru",
ada beberapa sebutan lain, yaitu
"alfur", "alfuros", "alfures",
"alifuru" atau "horaforas", sedangkan orang Belanda mengatakan mereka adalah
"alfuren". Nama
"alifuru" pernah berganti
dengan nama "nusa indah", tetapi nama ini
tidak populer, sehingga nama "alifuru" lah yang tetap dipakai.
Suku alifuru
memiliki 2 jenis diantaranya suku alifuru gunung dan suku alifuru pesisir. Kedua suku
ini tidak terlalu berbeda, hanya karena sekian lama sudah terpisah, maka
terjadi beberapa perbedaan tata cara dan kebiasaan hidup sedangkan adat dan budaya
tidaklah terlalu berbeda.
1.
Suku Alifuru Gunung
Suku Alifuru Gunung hidup dengan cara mengasingkan diri di pedalaman pegunungan, dan jarang berinteraksi dengan
suku-suku lain di pulau Seram. Suku Alifuru
Gunung hidup di sekitar jalur
pendakian menuju Gunung Binaiya. Mereka
menjalankan dan mempertahankan adat
istiadatnya dengan kuat . Sebagian
besar masyarakat dari suku Alifuru Gunung ini masih menganut
kepercayaan yang mengandung unsur animisme. Animisme
adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan
agama yang mula-mula muncul dikalangan manusia primitif.
Rumah adat
suku Alifuru gunung seperti rumah
panggung yang mempunyai khas tersendiri yang terbuat
dari pohon sagu tanpa menggunakan paku. Sambungan kayu dan tiang rumah diikat dengan tali yang
terbuat dari rotan. Sedangkan atap terbuat dari daun nipah atau daun sagu.
pondasi bangunan rumah ini menggunakan bambu yang berukuran besar untuk menahan
bangunan rumah.
Rumah adat suku
alifuru memiliki ukuran 15 x 8 m dan tidak
memiliki dinding pembatas ruangan yang hanya diberi
tanda garis tiang untuk membedakan ruangan setiap keluarga. Suku alifuru ini tinggal
bersama-sama dalam satu rumah sampai
dengan 10 keluarga walaupun berbeda turunan.
Rumah adat suku alifuru gunung
Suku Alifuru Pesisir pada abad ke-7 dikenal oleh pedagang Cina pada dan di era Dinasti Ming di abad ke-14 sampai
16 Masehi, menggambarkan daerah ini sebagai oasis di tengah lautan.
Rumah adat suku alifuru pesisir
Suku Alifuru
Pesisir tinggal di rumah panggung tradisional. Bangunan rumah hampir sama dengan suku alifuru gunung
yang seluruhnya dibuat dari pohon sagu dan tidak memakai paku. Setiap tiang
rumah diikat dengan tali yang terbuat dari rotan. Atap rumah memakai dengan
daun nipah atau daun sagu. Pondasi rumah dibuat dengan bambu yang berukuran
besar yang tersusun rapi sehingga mampu menahan bangunan rumah.
Pada dasarnya suku alifuru gunung dengan suku alifuru
pesisir dalam menganut kepercayaan berbeda. Kepercayaan suku alifuru gunung
sebagian besar menganut kepercayaan animisme, sedangkan kepercayaan Suku Alifuru
Pesisir sebagian besar memeluk agama Kristen dan sebagian lainnya
memeluk agama islam.
Masyarakat
suku Alifuru Gunung dan suku alifuru pesisir belum mengenal sistem jual beli.
Semua barang yang mereka butuhkan, didapat dari hasil tukar barang (barter)
dari hasil panen yang mereka bawa untuk dibarter dengan bahan-bahan kebutuhan
mereka, seperti garam, minyak tanah dan ikan asin.
Makanan Suku Alifuru
Makanan
utama suku alifuru gunung dan pesisir adalah
sagu. Sagu merupakan tanaman
utama bagi masyarakat suku Alifuru keduanya. Hampir di
setiap rumah adat suku Alifuru terdapat tempat untuk mengolah sagu menjadi papeda. Papeda adalah makanan khas suku
Alifuru, dan rasanya tawar.
makanan khas suku alifuru
Mata
pencaharian suku alifuru
Dalam mata
pencaharian suku Alifuru gunung dan pesisir hidup pada
bidang pertanian. Mereka memiliki kebun dan ladang yang ditanami berbagai jenis
tanaman, seperti tanaman kopi, cengkeh, kasbi dan terutama tanaman sagu yang
menjadi tanaman pokok mereka.
Pada masa
dahulu mereka pernah menanam padi. Tetapi ketika proses penanaman padi berlangsung banyak
dari warga mereka yang meninggal. Sejak itu,
mereka tak lagi pernah menanam padi karena menurut keyakinan mereka, bahwa padi
membawa sial bagi
kehidupan mereka. Sehingga hasil bumi yang ditanam
pada saat ini adalah tanaman kopi, cengkeh, kasbi dan
terutama tanaman sagu yang menjadi tanaman pokok suku alifuru.
Tradisi Penyambutan tamu suku alifuru
Dalam
penyambutan tamu pada Suku Alifuru dengan melakukan upacara Waku-Waku. Tujuan
dari upacara waku-waku adalah untuk menjaga keselamatan para tamu agar
terhindar dari malapetaka. Terdapat kepercayaan apabila
tamu yang datang ke dusun mereka tidak disambut secara adat, maka lalainya penyambutan dapat berimbas ke desa tersebut yaitu kesialan dapat
terjadi di desa. Keluarganya pun
akan terkena bencana.
Pola pemakaman suku
alifuru
Pola pemakaman suku alifuru hampir mirip
dengan pemakaman adat yang berada Toraja, Sulawesi Selatan. Dimana
jenazah tersebut diletakkan di atas tebing batu yang tinggi dan dibiarkan
hingga menjadi tulangnya saja, mereka menganggap kematian adalah bukan akhir
segalanya, melainkan arwah dari jenazah tersebut sedang mengalami perjalanan
kedunia yang berbeda atau biasa disebut dengan Puya.
Suku Alifuru menempatkan
jenazah tersebut di sebuah Liang, yakni batu yang dianggap kramat dan memiliki
nilai magis sebagai pemakamannya. Bentuk batu yang dipilih pun tidak terlalu
besar, asal terdapat celah atau gorong-gorong pada bagian bawahnya maka bisa
dijadikan pemakaman.
Penempatan di batu di karenakan
mereka menganggap manusia pertama yang menginjakan kakinya di bumi itu berasal
dari batu. Oleh karena itu jika meninggal mereka pun harus
kembali ke batu.
Jenazah suku alifuru yang akan dimakamkan harus ditempatkan sebagaimana
kebiasaan sehari-harinya. Jika jenazah tersebut semasa hidupnya suka tiduran
maka dia akan ditidurkan pula pemakamannya. Jika dia
suka duduk bersila, maka harus sama dengan pemakamannya. Hal ini tujuannya agar
para arwah dari jenazah tersebut tidak marah dan tidak mengganggu para anggota
keluarga lainnya yang masih hidup. Jenazah yang sudah dimakamkan
akan ditinggal begitu saja sampai bau busuk menyengat
hingga menjadi tulang-belulang. Bahkan jenazah
tersebut menjadi santapan bagi binatang buas.
Proses adat
kematian Suku alifuru gunung, jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, maka
rumah yang mereka tempati dan ladang harus ditinggalkan. Begitu juga dengan segala bentuk barang yang pernah dipakai oleh
orang yang meninggal tersebut
harus ditinggalkan. Mereka
menganggap kalau tidak berpindah rumah, arwah dari jenazah tersebut akan
membawa petaka bagi anggota keluarga yang lain. Kepercayaan ini berasal dari agama yang mereka anut adalah animisme. Animisme adalah kepercayaan kepada makhluk
halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dikalangan
manusia primitif.
Sumber:
Deden Syahruddin
21412786
1IC05